Rabu, 09 September 2009

Diposting oleh Dukungendut Blog

Gaza

Aku membanting pintu dengan keras. Berdiri dengan tatapan kosong di belakangnya dan secara perlahan tubuhku merosot ke lantai. Kejadian tadi seperti masih berkejar-kejaran di benakku. Ketika belt kulit itu mengenai punggung abangku dengan kuat. Ketika Ibu hanya bisa menangis, memohon agar Ayah menghentikan perbuatannya. Ketika aku ingin membantu Gaza namun Ayah dengan tanpa rasa iba menyabet punggungku juga. Karena itu sekarang Gaza, kakakku pergi dari rumah.

“Kalau Ayah memang nggak suka sama Gaza, saat ini juga Gaza pergi, Yah! Tapi jangan sekali-kali Ayah menyakiti Ibu atau pun Dinda! Karena kalau itu terjadi lagi, aku akan membawa Ibu dan Dinda ikut bersamaku, keluar dari neraka ini!!!”

Itulah kata-kata yang kudengar, yang keluar dari mulut kakakku ketika ia memelukku karena sabetan dari belt Ayah tadi. Kemudian dia memelukku lagi, membisikkan kalimat yang sangat kutunggu, “Gue sayang sama lo, Dek. Gue janji, akan membawa Ibu dan lo secepatnya keluar dari sini. Gue janji. Sekarang gue harus pergi. Jangan …” sebelum ia menyelesaikan kata-katanya, Ayah sudah meyeret Gaza keluar dari rumah. Aku berusaha mengejar, tapi Ayah menghalangiku. Aku terus meneriakkan nama abangku. Namun ia hanya membalikkan badannya, tersenyum padaku. Walau pun aku tahu itu adalah senyum kepahitan, tapi aku sangat merindukan senyumannya. Lalu ia melangkahkan kakinya keluar pagar rumah kami. Dan dalam hitungan detik, ia sudah lenyap entah ke mana.

***

Aku Dinda Andriana. Anak kedua dari dua bersaudara. Kakakku bernama Gazandrian Fathir. Sejak kecil, hubungan kami memang sangat dekat. Ia adalah kakak terbaik yang pernah kumiliki. Tentu saja, karena aku tak punya kakak lain. Tapi aku yakin, dia memang kakak yang patut dibanggakan. Ia selalu menjadi tempat curhat yang menyenangkan bagiku. Ia seperti tak pernah bosan mendengarkan semua keluh kesahku. Memberikan nasihat-nasihat unik yang anehnya selalu berhasil.

Mungkin pada umumnya seorang kakak akan habis-habisan melindungi adiknya. Gaza pun begitu, tapi dia tidak over protective seperti yang lain. Ia selalu memberikan kesempatan padaku untuk menyelesaikan masalahku terlebih dahulu, sampai ketika pada akhirnya aku tidak bisa menyelesaikan masalah itu dan ia harus turun tangan. Hebatnya, itu tak pernah terjadi. Karena dukungannya, aku selalu bisa menyelesaikan semua masalahku dengan baik. Ia mengajariku banyak hal. Tentang kehidupan, pembelajaran, dan cinta. Gaza itu seperti kakak, Ayah, sekaligus Ibu bagiku karena hampir semua perhatian kudapatkan darinya.

Aku dan Gaza sangat senang menghabiskan waktu berdua. Aku mengikuti semua permainan yang ia mainkan bersama dengan teman-teman cowoknya yang lain. ‘Permainan kasar’, begitulah istilah yang digunakan para cewek-cewek centil ketika melihatku bermain bersama anak laki-laki lain. Tapi aku tak pernah peduli. Asalkan senang dan tidak merugikan, mengapa tidak dilakukan?

Ayahku adalah seorang anggota TNI. Dengan kedisiplinannya yang tinggi itu, sering kali membuat Gaza dan aku merasa tidak bebas. Untungnya beliau sering bertugas ke luar kota, jadi kami jarang sekali bertemu dengannya. Kami lebih senang menghabiskan waktu berdua dibandingkan menghafal dan mematuhi sederet peraturan-peraturan rumah yang beliau tetapkan.

Ibuku bekerja di sebuah perusahaan swasta. Sejak kami kecil, Ibu memang jarang mengurus kami karena kesibukannya sebagai wanita karir. Namun beberapa tahun terakhir ini, aku melihat perubahan yang terjadi dalam hidup Ibu. Perubahan yang lebih buruk sepertinya. Beliau seperti kehilangan sosok seorang pendamping hidup. Bukan berarti Ibu kehilangan Ayah, bukan begitu maksudku. Tapi sepertinya Ibu memang kehilangan teman hidupnya, pemimpin hidupnya. Seperti tak terpenuhi hak-haknya sebagai seorang istri. Mungkin karena Ayah sering berdinas ke luar kota, jadi waktu yang tersedia sangat sedikit untuk berkomunikasi satu sama lain. Ketika keduanya sedang berada di rumah, waktu yang ada malah mereka gunakan untuk bertengkar. Saling menuduh tentang hadirnya orang ketiga. Tidak Ayah, tidak Ibu. Mereka sama saja, terlalu banyak berperasangka buruk, keras kepala, dan tidak berusaha untuk saling memahami. Bukannya aku sok tahu, tapi memang begitu kenyataannya. Aku merasa sangat lelah dengan keadaan di rumah beberapa tahun terakhir ini. Apalagi dengan pindahnya Gaza ke Yogya empat tahun lalu untuk melanjutkan kuliah, membuatku semakin ingin keluar dari rumah, menyusulnya, dan tinggal bersamanya. Sebenarnya aku hanya ingin Ayah dan Ibu bisa lebih akur, tidak hanya mengandalkan emosi masing-masing. Aku rindu akan kasih sayang kedua orang tuaku. Rindu akan pelukan hangat mereka. Tapi mungkin itu tak kan terjadi. Karena kejadian dua tahun lalu.

Ya, Gaza tertangkap basah sedang berpesta ganja dengan teman-temannya di salah satu tempat kos di Yogya. Tentu saja hal ini membuat Ayah kebakaran jenggot. Ayah sangat marah, sampai-sampai berkata kalau Ayah tidak mau lagi menganggap Gaza sebagai anaknya. Jadi Gaza tidak diizinkan untuk menginjakan kaki di rumah kami sama sekali.

Aku? Jangan ditanya. Aku kaget setengah mati saat itu. Sosok abang yang kubangga-banggakan selama ini telah mengecewakan adiknya. Aku merasa seperti kehilangan pedoman hidup. Dikecewakan oleh orang yang sangat kusayangi. Namun tidak lama kemudian, Gaza secara sembunyi-sembunyi menemuiku. Ia minta maaf sedalam-dalamnya atas kejadian itu. Kata-katanya masih kuingat dengan jelas, “Dek, maafin gue, ya. Gue bener-bener nyesel. Gue khilaf, Dek. Maaf kalau gue bikin lo kecewa karena perbuatan gue itu. Gue sayang sama lo, Dek. Gue nggak mau bikin lo nyesel pernah punya kakak kayak gue. Walau pun mungkin dalam hati lo memang nyesel. Maafin gue ya, Dek,” ucapnya lembut. Ketika itu, aku hanya bisa menatap ke bawah dengan air mata yang mengalir deras di pipiku. Hatiku rasanya tercabik-cabik, sedih, kesal, marah, kecewa. Segala perasaan berkumpul jadi satu. Tapi aku berpikir semua orang berhak mendapat kesempatan kedua. Termasuk kakakku, Gaza. Jadi, tanpa berpikir panjang aku segera memaafkannya, dan hubungan kami kembali seperti dulu. Walau pun kini ia masih meneruskan kuliah di Yogya, kami tetap selalu berusaha untuk menjaga komunikasi satu sama lain.

Gaza membiayai kuliah dengan uangnya sendiri. Ia menyambi dengan bekerja di sebuah perusahaan IT di Yogya. Ayah sudah tidak mau lagi memberikan sepeser pun uang pada abangku itu. Aku benar-benar kasihan padanya. Aku jadi selalu teringat akan janjinya padaku. “Tenang aja, Dek. Gue janji akan cari rumah yang sederhana di sini untuk tempat tinggal kita berdua. Sama Ibu juga kalau beliau mau. Gue nggak mau kalau adik gue merasa menderita karena tinggal di rumahnya sendiri. Makanya, gue lagi berusaha ngumpulin uang untuk tempat tinggal kita. Setuju kan, Dek?” Aku hanya mengangguk pelan, seperti tak yakin kalau kakakku itu bisa memenuhi janjinya. Tapi bagimana pun juga, niat Gaza baik. Jadi aku akan selalu mendukung niat baiknya.

Kemarin ketika Gaza datang ke rumah, Ayah langsung menyemprotnya dengan kata-kata kasar yang intinya mengusir kakakku dari rumah. Aku menangis melihat kejadian itu. Ayah masih belum bisa memaafkan Gaza, padahal kakakku sudah mengaku bersalah dan minta maaf pada Ayah dan Ibu. Ia juga sudah tidak menggunakan obat-obatan terlarang apa pun sejak insiden dua tahun lalu. Walau pun aku belum pernah tinggal bersamanya lagi, tapi aku sangat mempercayainya. Aku yakin, dia tidak akan berbohong. Ibu juga sudah memaafkannya. Tinggal Ayah yang masih keras kepala dan belum bisa memaafkan abangku itu. Sampai-sampai, kemarin Ayah menyabet punggung Gaza dan punggungku karena aku berusaha melindungi kakakku. Dan sesaat sebelum pergi, Gaza masih mengulang janjinya lagi, membawaku untuk tinggal bersamanya.

***

Hari ini awan terlihat mendung, seperti tidak bersahabat. Aku melangkahkan kaki menuju jalan depan rumahku. Seketika itu pula aku tercengang meihat sebuah bendera kuning melambai-lambai lemah di depan rumahku. Beberapa tetangga keluar masuk rumah dengan wajah layu. Semuanya mengguanakan pakaian berwarna hitam. Saat itu juga aku tahu ada seseorang yang meninggal dunia. Lebih tepatnya, ada seseorang yang meninggal dunia di rumahku. Aku langsung berlari sekuat tenaga menuju rumah dan menabrak beberapa tetanggaku yang berdiri di pagar depan. Ketika aku melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah, tampak Ibu sedang menangis histeris. Wajahnya merah dan air mata membasahi hampir seluruh wajahnya.

Ayah!! Di mana Ayah?!! Mataku mencari-cari dengan liar ke sekeliling ruangan dan beberapa detik kemudian aku melihat Ayah duduk di sudut ruangan. Wajahnya pucat dan lelah, terlihat sangat menyedihkan. Lalu mataku tertuju pada jenazah yang ada di tengah ruang tamu. Jenazah itu sudah ditutupi kain berwarna putih dan kain batik. Lalu siapa jenazah itu? Aku berusaha menebak-nebak.. Siapa dia? Atau mungkin…

Aku segera berlari ke arah jenazah itu diletakkan. Ibu, Ayah, dan semua tetangga melihatku. Mereka segera menyingkir sedikit dari si jenazah. Perlahan kubuka kain penutup itu sampai wajahnya terlihat. Saat itu juga aku berteriak sekeras mungkin dan menangis histeris. Aku langsung memeluk jenazah itu. Dia adalah Gaza. Ya, abangku yang sangat kusayang. Orang yang paling berarti dalam hidupku. Orang yang mungkin paling menyayangiku dan paling mengerti aku. Ia sudah tidak ada. Hanya jasadnya yang terbaring di hadapanku. Aku menggoyang-goyangkan tubuhnya, berusaha untuk membangunkannya sambil meneriakkan namanya. Tapi Ayah dan beberapa tetangga lain segera menarik tubuhku menjauhi jasad Gaza. Aku memberontak, berusaha melepaskan diri dan kembali berusaha membangunkan kakakku. Namun seketika itu juga semuanya menjadi gelap, gelap, dan hilang.

***

Aku tidak datang ke pemakaman kemarin sore karena aku pingsan. Tubuhku lemas, wajahku pucat. Rasanya tidak memiliki kekuatan untuk melakukan apa pun. Apalagi sekarang aku tahu kalau penyemangat hidupku sudah tiada. Motivator hidupku sudah pergi.

Mengapa Gaza tidak mengajakku pergi bersamanya? Mengapa ia meninggalkanku sendiri di sini? Apa ia tidak tahu kalau aku sangat membutuhkannya? Aku tak bisa hidup tanpa dia. Ia selalu berjanji padaku untuk menjagaku dari apa pun, siapa pun dan di mana pun. Tapi apa buktinya?! Bahkan sekarang ia malah pergi meninggalkanku sendiri. Membiarkan aku menjalani suatu kehidupan yang masih belum kumengerti. Aku marah padanya. Ia tidak bisa menepati janji-janjinya padaku.

Tuhan, mengapa semua ini harus terjadi? Mengapa Kau memberikan ujian yang sangat berat pada hamba-Mu ini? Aku tidak mengerti apa hikmah di balik semua ini. Kejadian yang amat sangat menyakitkan. Kejadian yang mungkin akan merubah seluruh jalan hidupku.

***

Siang ini salah seorang teman abangku datang ke rumah, mengantarkan semua barang-barangnya yang ada di tempat kosnya di Yogya. Lalu ia juga memberikan sebuah surat padaku. Suarat yang ditulis oleh Gaza sebelum ia pergi meninggalkan aku.

Dear my lovely sista

Halo adikku tersayang. Mungkin saat kamu baca surat ini, aku udah nggak ada. Mungkin aku sudah terkubur di dalam tanah, bersiap-siap menjalani hari-hariku selanjutnya.

Hal pertama yang ingin aku sampaikan ke kamu, aku ingin minta maaf sedalam-dalamnya sama kamu. Mungkin selama ini aku udah menjadi kakak yang nggak baik buat kamu, kakak yang selalu ngecewain kamu dengan kesalahan-kesalahan memalukan yang aku lakukan. Tapi aku berani sumpah, aku nggak pernah punya maksud untuk mengecawakan kamu, Ibu, dan Ayah. Waktu itu aku khilaf, Dek. Mungkin aku benar-benar lagi blank, imanku lagi nggak kuat. Mungkin aku sedang jauh dari Tuhan. Dan akibat perbuatanku itu, aku terkena penyakit AIDS.

Selama bertahun-tahun aku menyembunyikan ini dari kamu, Ibu, dan Ayah. Aku nggak mau sampai ada yang khawatir sama aku karena perbuatanku sendiri. Aku tahu, cepat atau lambat kematian itu akan datang. Apalagi aku adalah seorang penderita penyakit mematikan, mungkin kematian akan lebih cepat menjemputku. Tapi bukan itu masalahnya. Aku lebih khawatir sama kamu, Dek. Khawatir kalau aku belum bisa membahagiakan kamu dan belum bisa menepati janji-janjiku ke kamu. Aku belum siap untuk ninggalin kamu.

Aku sayang banget sama kamu, Dek. Aku nggak mau kalau sampai ada hal buruk yang menimpa kamu. Sebisa mungkin aku berusaha untuk menjaga kamu di mana pun, kapan pun, dan bagaimana pun caranya. Kalau sekarang, mungkin aku hanya bisa menjaga kamu dari alam yang berbeda. Tapi inget ya Dek, kasih sayang aku untuk kamu nggak akan pernah berkurang apalagi sampai hilang. Jalani hidup kamu dengan penuh semangat. Masih panjang waktu yang harus kamu lewati. Masih banyak hal yang harus kamu lakukan. Masih banyak orang-orang di luar sana yang membutuhkan kamu. Jadi jangan pernah patah semangat dalam menjalani hidup. Hidup itu indah, tapi butuh perjuangan. Kalau gampang nyerah, kita nggak akan bisa bertahan hidup.

Ya udah, gitu aja ya, Dek. Sekali lagi aku minta maaf atas kesalahan-kesalahan yang pernah aku perbuat. Tolong sampaikan salam sayangku buat Ibu dan Ayah. Sampaikan juga permintan maafku sama mereka. I love you, Dek…

With love from your brother,

Gaza

Perlahan air mataku menetes satu per satu. Hati yang telah remuk ini kembali hancur berkeping-keping. Aku berusaha menekan rasa sakit yang nyaris tak mampu tertahankan. Tapi aku yakin, mungkin ini jalan yang terbaik dari Tuhan untuk kami semua, terutama untuk Gaza. Banyak kemungkinan buruk yang akan terjadi bila Gaza masih hadir di sebelahku saat ini. Mugkin. Kini aku hanya bisa berdoa agar Gaza bisa diterima di sisi-Nya, diampuni segala dosa-dosanya.

Sungguh, seandainya aku ikut mati bersamanya, aku ingin sekali berada dalam satu kuburan yang sama. Menemaninya selalu, menjadi adik yang baik, menyayanginya dengan sepenuh hati. Sayangnya aku tak pernah tahu kalau Gaza telah mengalami banyak tekanan selama dua tahun terakhir ini. Seandainya ia cerita, aku berjanji tidak akan pernah meninggalkannya. Kalau perlu aku juga akan tinggal bersamanya di Yogya. Merawat dan mengurusnya sehingga ia tak kan pernah terjerumus dalam kesalahan apa pun.

Tapi semuanya sudah terlambat. Nasi sudah menjadi bubur dan tak kan kembali lagi menjadi nasi, apa lagi menjadi nasi dengan kualitas yang lebih baik. Begitu pun dengan peristiwa ini. Namun aku sadar akan satu hal. Gaza tidak pernah mengecewakan aku. Justru semua yang ia lakukan membuatku bangga. Semuanya. “Iya, Za. Gue janji akan meneruskan hidup gue walau pun lo udah nggak ada. Tapi gue yakin dan percaya, lo pasti masih terus menjaga gue. Gue berjanji akan menjadi orang yang berguna buat diri sendiri dan orang lain. Gue nggak mau ada orang yang menyesal untuk pernah menyayangi gue, seperti halnya gue nggak akan pernah menyesal untuk menyayangi lo. Selamanya,” ucapku pelan.

Air mataku masih mengalir deras. Tapi hatiku menangis lebih pilu. Sekali lagi aku menyadari, Gaza kakak tersayangku sungguh-sungguh tidak ada lagi di dunia ini.

0 komentar:

Posting Komentar

CashGopher

Twitter

Free Domain